Pengertian dan Aspek serta Isu Aksiologi
Pengertian dan Aspek serta Isu Aksiologi. Filsafat sering kali dipandang sebagai ilmu yang abstrak, padahal filsafat itu sangat dekat dengan kehidupan manusia. Filsafat menurut sebagian kalangan merupakan disiplin ilmu yang kurang diminati karena di anggap sebagai ilmu yang sulit dan membutuhkan pemikiran, untuk pemula memang agak sulit, malas dan enggan ketika memulai memasuki bidang ilmu ini. Akan tetapi lama-lama akan hilang rasa itu ketika mulai menekuni ilmu ini ketika sadar bahwa filsafat itu sebagian yang tidak tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Aktivitas filsafat melibatkan akal pikiran manusia secara utuh, konsisten dan bertanggung jawab. Dalam aktivitas akal itu para filsuf mencoba mencoba mengungkap realitas. Kegiatan mengungkap realitas ini membutuhkan bahasa sebagai sarana bagi pemahaman terhadap realitas tersebut. Dari sini muncullah berbagai istilah teknis filsafati, seperti substansi, eksistensi, impresi dan kategori. Istilah-istilah ini muncul dalam bidang utama filsafat, yakni: metafisika, epistemologi dan aksiologi.
Pengertian Aksiologi
Kata Aksiologi berasal dari bahasa yunani axios yang memiliki arti nilai, dan logos yang mempunyai arti ilmu atau teori. Jadi, Aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, pemakalah akan menguraikan beberapa definisi tentang aksiologi, di antaranya:
1. Aksiologi yang terdapat di dalan bukunya Jujun S. suriasumantri filsafat ilmu sebuah pengantar popular bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
2. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafst sosio-politik.
Aspek Aksiologi
Aspek aksiologis dari filsafat membahas tentang masalah nilai atau moral yang berlaku di kehidupan manusia. Dari aksiologi, secara garis besar muncullah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia, yaitu etika dan estetika.
Mengapa dalam filsafat ada pandangan yang mengatakan nilai sangatlah penting, itu karena filsafat sebagai philosophy of life mengajarkan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan yang berfungsi sebagai pengontrol sifat keilmuan manusia. Teori nilai ini sama halnya dengan agama yang menjadi pedoman kehidupan manusia.
1. Etika
Etika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas moralitas nilai baik dan buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau masyarakat yang mengatur tingkah lakunya.
Etika berasal dari dua kata ethos yang berarti sifat, watak, kebiasaan, ethikos berarti susila, keadaban atau kelakuan dan perbuatan yang baik.
Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa latin mores, jamak dari mos yang berarti adat, kebiasaan. Dalam bahasa arab disebut akhlaq yang berarti budi pekerti dan dalam bahasa Indonesia dinamakan tata susila.
Dalam hal ini ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli etika, beberapa ahli membagi ke dalam dua bagian, yaitu etika deskriptif dan etika normative, ada juga yang menambahkan yaitu etika metaetika.
a. Etika deskriptif
Aktivitas filsafat melibatkan akal pikiran manusia secara utuh, konsisten dan bertanggung jawab. Dalam aktivitas akal itu para filsuf mencoba mencoba mengungkap realitas. Kegiatan mengungkap realitas ini membutuhkan bahasa sebagai sarana bagi pemahaman terhadap realitas tersebut. Dari sini muncullah berbagai istilah teknis filsafati, seperti substansi, eksistensi, impresi dan kategori. Istilah-istilah ini muncul dalam bidang utama filsafat, yakni: metafisika, epistemologi dan aksiologi.
Pengertian Aksiologi
Kata Aksiologi berasal dari bahasa yunani axios yang memiliki arti nilai, dan logos yang mempunyai arti ilmu atau teori. Jadi, Aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, pemakalah akan menguraikan beberapa definisi tentang aksiologi, di antaranya:
1. Aksiologi yang terdapat di dalan bukunya Jujun S. suriasumantri filsafat ilmu sebuah pengantar popular bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
2. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafst sosio-politik.
Aspek Aksiologi
Aspek aksiologis dari filsafat membahas tentang masalah nilai atau moral yang berlaku di kehidupan manusia. Dari aksiologi, secara garis besar muncullah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia, yaitu etika dan estetika.
Mengapa dalam filsafat ada pandangan yang mengatakan nilai sangatlah penting, itu karena filsafat sebagai philosophy of life mengajarkan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan yang berfungsi sebagai pengontrol sifat keilmuan manusia. Teori nilai ini sama halnya dengan agama yang menjadi pedoman kehidupan manusia.
1. Etika
Etika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas moralitas nilai baik dan buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau masyarakat yang mengatur tingkah lakunya.
Etika berasal dari dua kata ethos yang berarti sifat, watak, kebiasaan, ethikos berarti susila, keadaban atau kelakuan dan perbuatan yang baik.
Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa latin mores, jamak dari mos yang berarti adat, kebiasaan. Dalam bahasa arab disebut akhlaq yang berarti budi pekerti dan dalam bahasa Indonesia dinamakan tata susila.
Dalam hal ini ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli etika, beberapa ahli membagi ke dalam dua bagian, yaitu etika deskriptif dan etika normative, ada juga yang menambahkan yaitu etika metaetika.
a. Etika deskriptif
Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti: adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang di perbolehkan atau tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh karena itu, etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral. Misalnya, penggambaran tentang adat mangayau kepala pada suku primitive.
Etika deskriptif dibagi ke dalam dua bagian: pertama, sejarah moral, yang meneliti cita-cita, norma-norma yang pernah di berlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa. Kedua, fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada.
b. Etika Normatif
Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk.
Etika normatif kerap kali juga disebut filsafat moral atau juga disebut etika filsafati. Etika normatif dapat dibagi kedalam dua teori, yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku. Adapula yang membagi etika normative kedalam dua golongan sebagai berikut: konsekuensialis dan nonkonsekuensialis. Konsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya.
Etika deskriptif dibagi ke dalam dua bagian: pertama, sejarah moral, yang meneliti cita-cita, norma-norma yang pernah di berlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa. Kedua, fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada.
b. Etika Normatif
Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk.
Etika normatif kerap kali juga disebut filsafat moral atau juga disebut etika filsafati. Etika normatif dapat dibagi kedalam dua teori, yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku. Adapula yang membagi etika normative kedalam dua golongan sebagai berikut: konsekuensialis dan nonkonsekuensialis. Konsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya.
Adapun nonkonsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaanya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.
2. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Istilah estetika berasal dari kata Yunai yang mempunyai arti aesthesis, yang berati pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berati pengamatan spiritual. Istilah art berasal dari kata latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan.
Estetika adalah cabang filsafat yang memberikan perhatian pada sifat keindahan, seni, rasa, atau selera, kreasi, dan apresiasi tentang keindahan. Secara ilmiahnya, ia didefinisikan sebagai studi tentang nilai-nilai yang dihasilkan dari emosi-sensorik yang kadang dinamakan nilai sentimentalitas atau cita rasa atau selera. Secara luasnya, estetika didefinisikan sebagai refleksi kritis tentang seni, budaya, dan alam. Estetika dikaitkan dengan aksiologi sebagai cabang filsafat dan juga diasosiasikan dengan filsafat seni.
Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normative. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normative mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman keindahan. Adapula yang membagi estetika kedalam filsafat seni (philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya-karya seni dan memepertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu ada apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.
Isu Aksiologi
Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini pemakalah sedikit akan membahas beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagus setiap orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral, tapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Sesuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidak ada mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai objek.”
2. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Istilah estetika berasal dari kata Yunai yang mempunyai arti aesthesis, yang berati pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berati pengamatan spiritual. Istilah art berasal dari kata latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan.
Estetika adalah cabang filsafat yang memberikan perhatian pada sifat keindahan, seni, rasa, atau selera, kreasi, dan apresiasi tentang keindahan. Secara ilmiahnya, ia didefinisikan sebagai studi tentang nilai-nilai yang dihasilkan dari emosi-sensorik yang kadang dinamakan nilai sentimentalitas atau cita rasa atau selera. Secara luasnya, estetika didefinisikan sebagai refleksi kritis tentang seni, budaya, dan alam. Estetika dikaitkan dengan aksiologi sebagai cabang filsafat dan juga diasosiasikan dengan filsafat seni.
Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normative. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normative mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman keindahan. Adapula yang membagi estetika kedalam filsafat seni (philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya-karya seni dan memepertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu ada apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.
Isu Aksiologi
Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini pemakalah sedikit akan membahas beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagus setiap orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral, tapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Sesuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidak ada mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai objek.”
Kesimpulan
Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu axios yang memiliki arti nilai, dan kata logos yang mempunyai arti ilmu atau teori. Jadi, Aksiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang teori tentang nilai.
Dalam mendefinisikan Aksiologis banyak para filusuf mendefinisikannya dengan berbagai macam ragam definisi salah satunya itu Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafst sosio-politik.
Studi tentang tindakan manusia biasanya hanya semata menggambarkan siapakah mereka dan bagaimana mereka. Dalam hal seperti ini, ilmu antropologi atau filsafat manusia memainkan peranan penting, misalnya ia menggambarkan berbagai macam kebudayaan manusia yang menunjukkan kebiasaan, adat, cara bahasa dan lainnya. Jadi, pertanyaannya Apakah manusia?
Tetapi, ketika pertanyaannya adalah Apa yang seharusnya dilakukan manusia?, inilah wilayah ilmu etika atau juga disebut sebagai filsafat kesusilaan. Hal ini berangkat dari fakta bahwa dalam hidup manusia bukan hanya bertindak, melainkan menilai tindakannya. Jadi, studi etika bukan berdasar pada what is, tetapi how to.
DAFTAR PUSTAKA
Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu axios yang memiliki arti nilai, dan kata logos yang mempunyai arti ilmu atau teori. Jadi, Aksiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang teori tentang nilai.
Dalam mendefinisikan Aksiologis banyak para filusuf mendefinisikannya dengan berbagai macam ragam definisi salah satunya itu Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafst sosio-politik.
Studi tentang tindakan manusia biasanya hanya semata menggambarkan siapakah mereka dan bagaimana mereka. Dalam hal seperti ini, ilmu antropologi atau filsafat manusia memainkan peranan penting, misalnya ia menggambarkan berbagai macam kebudayaan manusia yang menunjukkan kebiasaan, adat, cara bahasa dan lainnya. Jadi, pertanyaannya Apakah manusia?
Tetapi, ketika pertanyaannya adalah Apa yang seharusnya dilakukan manusia?, inilah wilayah ilmu etika atau juga disebut sebagai filsafat kesusilaan. Hal ini berangkat dari fakta bahwa dalam hidup manusia bukan hanya bertindak, melainkan menilai tindakannya. Jadi, studi etika bukan berdasar pada what is, tetapi how to.
DAFTAR PUSTAKA
- Susanto. Filsafat ilmu: suatu kajian dalam dmensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011)
- Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
- Soyomukti, Nurani. Pengantar Filsafat Umum, cet. 1, (Yoyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011)
- Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat (Yogyakarta kanisius 1995)
- Bakry, Hasbullah. Sistematik Filsafat (Jakarta:widjaja, 1981)
- Rizal Mustansyir dan misnal Munir. Filsafatilmu, Cet. 9 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
- https://dedikayunk.wordpress.com/2014/11/19/pengertian-aksiologi-dan-aspek-aspek-serta-isu-aksiologi/
Posting Komentar untuk "Pengertian dan Aspek serta Isu Aksiologi"
Terima Kasih Atas Kunjungannya. Semoga Informasi Yang Admin Sampaikan Ada Manfaatnya. Tak Lupa Apabila Ada Kesalahan Dalam Penulisan Informasi Yang Admin Sampaikan Ditunggu Kritik & Sarannya Di Kolom Komentar..............
Posting Komentar